Pendahuluan : Transaksi Domestik dan Lintas Batas, Lebih bahaya mana?
Hanya untuk sedikit membuka cerita, mungkin sedikit agak
naif kalau saya mengatakan Penghindaran Pajak dalam ruang lingkup transaksi
lintas batas (cross-border) jauh lebih berbahaya daripada
Penghindaran Pajak dalam ruang lingkup domestik. Maksudnya dalam konteks
transaksi domestik, pelanggaran yang
dilakukan hanya menimbulkan kerugian dari sisi penerimaan pajak saja,
dimana taxbase (dalam bentuk uang)
atau penghasilan tersebut masih berada
di Indonesia yang digunakan sebagai fuel untuk menggerakkan ekonomi.
Di lain pihak, penghindaran
pajak dalam skala lintas batas memiliki dua konsekwensi, secara fiskal dan
secara ekonomi. Penerimaan pajak
hilang, taxbase-nya di parker diluar
negeri. Dari sini kita bisa berfikir kalau seharusnya resources (sumber daya manusia) yang ada di Institusi perpajakan di
Indonesia lebih fokus untuk mengawasi transaksi lintas batas, paling tidak menilai sejauh mana transaksi
tersebut inline dengan tujuan
bisnisnya, bukan tujuan untuk menghindari pajak.
Tapi…, Pajak
bukanlah segalanya. Dalam artian, bukan
berarti transaksi lintas batas pasti bertujuan untuk menghindari pajak. Banyak
transaksi bisnis aktif secara lintas
batas yang dilakukan memang secara murni sesuai dengan tujuan bisnis normal,
yakni mencari profit, walaupun…
ternyata pada akhirnya terdapat spillover
effect dimana transaksi tersebut menghasilkan penghematan pajak, misal
hanya pada tahun yang bersangkutan. Sebelum lebih jauh, pembahasan ini hanya mencakup transaksi bisnis aktif (penghasilan
dari usaha) dan juga tidak mencakup skema perjanjian bisnis lintas batas (arrangement-nya), tetapi hanya
transaksinya.
Mengawasi Tanpa (selalu) Menghakimi
Lantas apakah seharusnya transaksi yang memiliki tujuan bisnis murni namun dengan side benefit penghematan pajak dapat
dikategorikan sebagai penghindaran pajak. Jika menggeralisir seperti itu
tentunya menciptakan kondisi bisnis yang tidak pasti, yang akhirnya FDI (foreign direct investment) malah jadi
takut untuk masuk, akhirnya Ekonomi
kehilangan full potentialnya karena rezim perpajakan yang terlalu ketat.
Untuk itu, dari perspektif ekonomi, seharusnya aturan pajak
seharusnya menyeimbangkan antara dua hal
tersebut. Disamping itu dengan sumber daya yang terbatas jumlahnya, konsentrasi fokus akan lebih efektif untuk mengawasi aspek penghindaran
pajak transaksi lintas batas yang memiliki risiko lebih besar, tapi ya itu
tadi, tidak terlalu agresif dengan tujuan mengawasi
tanpa selalu menghakimi.
Dari hal tersebut diatas, dapat disimpulkan objective
function yang dilakukan meneliti secara efektif penghindaran pajak dengan contraints keterbatasan jumlah sumber
daya. Jawabannya mungkin fokus ke transaksi lintas batas, namun tetap mempertimbangkan trade-off antara investasi dan
penerimaan pajak. Maka dari itu, agar lebih terfokus, diperlukan tools untuk menilai sejauh mana
transaksi bisnis tersebut berpengaruh
kepada pajak yang dibayar.
Qualitative analysis
Saat ini perangkat anti avoidance yang ada di Indonesia tercakup di Pasal 18 UU PPh sebagai
perangkat Specific Anti Avoidance Rule
(SAAR) dan PER - 10/PJ/2017 untuk Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda. Kita tidak akan lebih jauh membahas dua hal tersebut, namun
satu hal yang dapat disimpulan atas kedua hal tersebut adalah sifat analisisnya yang kualitatif.
Quantitative analysis
Lalu apakah analisa kualitatif cukup? Mungkin iya, tetapi mungkin perlu
ada ada tambahan tools yang bersifat
kuantitatif untuk melihat hubungan
antara transaksi bisnis dengan pembayaran pajak yang terjadi. Nah
ternyata dalam ekonometrik, terdapat granger
causality test. Untuk melihat ada
atau tidaknya pengaruh atas hubungan antara dua variable, dalam hal ini Transaksi yang menjadi observasi dan
Pembayaran Pajak PPh Badan Terhutang selama setahun.
Metode ini secara sederhana
menguji kausalitas untuk menentukan sebab akibat antara dua variable tersebut.
Jadi yang diuji nantinya adalah hubungan
satu arah atau hubungan dua arah. Sebelum melakukan pengujian, asumsi yang
digunakan adalah mana variabel terikat (Y) dan mana variabel bebas (X). Jika dianalogikan dengan pajak, bisa kita
simpulkan bahwa asumsi kita Transaksi (sebagai variabel X) mempengaruhi
Pembayaran Pajak (variabel Y).
Granger memiliki konsep , jika X terjadi lebih dahulu daripada Y, maka ada kemungkinan X dapat
menyebabkan Y, dan Y tidak terjadi mendahului X pada satu tahun observasi yang
sama. Maka dari itu ada kemungkinan pengaruh tersebut tidak terjadi secara
bersamaan pada satu tahun observasi yang sama. Maka ada kemungkinan faktor
saling mempengaruhi tersebut memiliki jeda waktu (lag), bisa setahun, dua
tahun, tiga tahun dll. Pertanyaannya? Sejauh mana jeda waktu tersebut?
Karena fokus pajak kita disini adalah PPh Badan yang memiliki time
frame reporting dan due selama
satu tahun, maka mungkin bisa kita tentukan diawal bahwa jeda waktu yang
paling masuk akal adalah selama satu
tahun.
Aplikasi Granger Test
Katakanlah ada sebuah perusahaan imaginer PT. ABC di Indonesia yang melakukan
transaksi jasa intragroup (Intragroup
Service (“IGS”)) dengan perusahaan CBA
corp diluar negeri. Adapun tiap tahun transaksinya adalah sebagai berikut,
dan tiap tahun Pembayaran PPh Badan Terhutang (“TAX”) PT ABC adalah sebagai
berikut (juga dalam jumlah yang imaginer):
Data
YEAR
|
IGS
|
TAX
|
2004
|
1,084,134,000
|
922,025,978
|
2005
|
611,545,200
|
4,024,159,902
|
2006
|
1,098,829,278
|
7,348,614,769
|
2007
|
1,437,039,000
|
5,470,472,582
|
2008
|
909,889,478
|
3,989,870,980
|
2009
|
820,379,873
|
2,847,593,487
|
2010
|
1,338,498,559
|
3,635,524,758
|
2011
|
1,549,284,958
|
3,405,860,440
|
2012
|
1,394,835,594
|
3,495,913,949
|
2013
|
1,304,550,949
|
3,303,027,591
|
2014
|
2,000,104,904
|
3,801,039,485
|
Pertanyaanya, apakah terdapat indikasi awal, sekali lagi
indikasi awal, bahwa transaksi IGS tersebut ditujukan mempengaruhi besaran
pembayaran TAX? Atau malah jangan-jangan besaran TAX yang dibayar menentukan besarnya
transaksi IGS tahun berikutnya?
Untuk itu model pengujian granger adalah sebagai berikut:
Model
Keterangan:
IGS = Transaksi Afiliasi Pembayaran Jasa
TAX = PPh Badan Terhutang
ε = Error Term
(Variabel Pengganggu)
n = Jeda
Waktu (Lag), dalam hal ini kita pilih 1.
Hipotesis
H0 = IGS Tidak
Mempengaruhi TAX -->Tidak terdapat tujuan Menghindari Pajak
H1 = IGS Mempengaruhi
TAX --> terdapat tujuan Menghindari Pajak
Hasil Pengujian
Dengan menggunakan
aplikasi perangkat lunak E-views 8, pengujian menghasilkan data sebagai
berikut.
Dilihat dari tabel diatas, untuk asumsi TAX mempengaruhi IGS nilai P-value (0.6147) tidak signifikan dan tidak dapat digunakan untuk mereject H0, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembayaran pajak tidak mempengaruhi besaran transaksi afiliasi.
Sedangkan untuk asumsi
IGS mempengaruhi TAX, nilai P-value (0.0793)
juga tidak signifikan dan tidak dapat digunakan untuk mereject H0 pada
level critical value (α) 5%, karena 0,0793
> 0,05.
Namun jika jika extend sedikit critical value
menjadi α=10%, nilai P-value menjadi signifikan
karena 0,0793 < 0,1 , sehingga dapat
disimpulkan bahwa Transaksi Intragroup
Service mempengaruhi besaran transaksi Pembayaran Pajak dengan critical value 10%. Irrespective dari besaran α yang dipakai
(entah itu 5% atau 10%) secara probabilitas, terdapat kecenderungan kuat bahwa transaksi IGS tersebut mempengaruhi
besaran TAX.
Kesimpulan
Kembali lagi kepada bahasan diawal, tools diciptakan untuk
mempermudah manusia dalam melakukan pekerjaannya. Dibandingkan berdebat
sedemikian rupa atas penentuan secara kualitatif yang terkadang sifatnya objektif, lebih baik berbicara secara statistik yang didukung dengan data.
Tapi sekali lagi penggunaan ini bukan menjadi substitution
tools atas analisis yang lebih mendalam atas indikasi penghindaran pajak (yang
memang sifatnya lebih ke analisa hukum), tapi tools ini hanya sebagai complementary
tools untuk memilah transaksi mana
yang memiliki kecenderungan secara statistik ke arah penghindaran pajak
sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi, sehingga resources bisa
diarahkan untuk lebih fokus kepada transaksi tersebut.
No comments:
Post a Comment