Inequality : Apa yang harus dilakukan? (1) : Direction of Motion, Opportunity and Outcome, Intrinsic and Instrumental - Economics, Accounting, and Taxation (Ecountax.com)
Ads Here

Inequality : Apa yang harus dilakukan? (1) : Direction of Motion, Opportunity and Outcome, Intrinsic and Instrumental

Mereduksi Inequality sebagai direction of Motion

Dalam mereduksi tingkat inequality, harus dilihat sebagai direction of motion, bukan sebagai ultimate goal (menghilangkan inequality). Karena certain level of inequality rewards dibutuhkan sebagai fuel ekonomi, pertanyaanya mungkin seberapa besar level inequality?.

Perkampungan Masyarakat Miskin di Venezuela (www.taxedu.web.id)
Perkampungan Masyarakat Miskin di Venezuela (image credit : shutterstock)


Inequality : Opportunity and outcome

Berawal dari penyataan Richard Thawney dalam Equality "people should be equaly enabled to make the best of such powers as they posses".  Selanjutnya John Roemer berpendapat bahwa economic outcomes determinants are "efforts (under personal control) dan circumtances(beyond personal control, exp. family background)". Nah, Equality of oppotunity is achieved ketika "circumtances" tidak berperan dalam menentukan hasil. Misal, kriteria diterimanya dokter di universitas hanya bergantung pada hasil tes acadmicnya, bukan karena anak dari seorang dokter terkenal. Kalau ada pengaruh orang tua, maka namanya inequality of opportunity.

Menurut Atkinson Inequality of opportunity dan Inequality of Outcome (Hasil) saling berkaitan erat. Inequlity of opportunity melihat dari pendekatan ex-ante, sedangkan inequality of outcome melihat dari pendekatan ex-post. Jadi bukan berarti jika opportunity sudah equal, outcome tidak perlu dipermasalhkan lagi. Atkinson memberikan tiga argumen, antara lain:


Pertama, dilihat dari proses pencapaian hasil itu sendiri. Tidak setiap orang yang melakukan effort tinggi selalu berhasil, misal karena bad luck, karena salah pengambilan keputusan, trip off dan fall into poverty, dan pada akhirnya membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Makanya, meskipun exante equality telah terpenuhi, expost equality juga harus dipertimbangkan.

Kedua, signifikansi dari outcome jauh lebih dalam dari sekedar equality of oportunity. Karena ada perbedaan dalam competitive and non competitive equality of opportunity. Konsep non competitive equality of opportunity artinya tiap orang  punya kesempatan yang sama memenuhi independent life project mereka. Contoh, Semua orang punya kesempatan untuk dapat sertifikat renang (non-competitive), dilain pihak competitve equal opportunity berarti setiap orang bisa berpartisipasi dalam lomba renang dimana hanya yang skillfull yang menang dan mendapat hadiah. Dari sini, pendekatan ex-post melihat adanya inequlity of outcomes, karena hadiah yang disediakan tidak equal dan pemberiannya harus diawasi agar fair. Nah, karena hadiah yang tidak equal tersebut, muncul pertanyaan, apakah penyusunan jumlah pemberian hadiah (determination of prize structure) ini sudah fair.

Alasan ketiga adalah, inequality of outcome directly affect inequality of opportunity (untuk generasi selanjutnya). "Today Ex-post outcomes shape tomorrow's ex-ante playing field". Individu yang menang saat ini akan mewariskan kemenangan tersebut kepada keturunannya, sehingga lead to inequality of opportunity. Inequality of family background menjadi alasan timbulnya dari unfair advantade yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Artinya jika kita concern atan equlity of opportunity dimasa datang, maka kita harus concern tentang inequality atas outcome di masa ini.

Instrumental dan Intrinsic concern untuk Inequality

Intrinsic approach melihat bahwa inequality secara intrinsik tidak baik karena tidak tercipta social justice, sedangkan Intrumental melihat dampak buruk yang diakibatkan dari inequality.

Mereduksi inequality of outcome sangat penting, bahkan merupakan jalan untuk mereduksi inequality of opportunity. Joseph Stitglitz (The Price of Inequality) dan Kate Picket and Richard Wilkinson (The Spirit Level) menyatakan alasan lain mengapa inequality of outcome menjadi concerns. Mereka menyatakan inequality of outcome memiliki bad consequeses untuk society saat ini, seperti ; high rate of crime lack of social cohesion, health problem, dan masalah sosial lainnya (dampak instrumental).

Bahkan political scientist menyatakan adanya two-way relationship antara income inequality dan peran kekuatan financial dalam menentukan hasil dalam pemilihan demokrasi. Fenomena ini disebut "dance of ideology and unequal riches".

Economist juga berpendapat meningkatnya inequality reduce the economic performance, dalam IMF dan World Bank Meeting 2012, Christine Lagarde menyatakan bahwa turunnya inequality leads to greater economic stability and sustainable economic growth.

Tujuan mereduksi inequality tidak harus selalu karena hal diatas, namun dilihat dari karena bad consequences yang timbul. Kita dapat melihat intrinsic reason untuk menjelaskan mengapa inequality saat ini ada pada level yang tidak sehat. Bagaimana melihatnya? kaitkan dengan theory of justice. Contoh ekonomi pada masa lalu mengaitkannya dengan utilitarian terms. Utilitarian memiliki pendekatan dengan menjumlahkan seluruh total utility dari setiap individu untuk mendapat total well-being. Namun adanya inequality menyebabkan total well-being tersebut lebih kecil. Karena dengan nilai uang yang sama, rich people mendapat utility yang lebih sedikit daripada poor people.

Namun utilitarian mendapat banyak kritik, bukan hanya karena metode penjumlahan utility individu, tetapi karena unconcerned about distributional weights (perbedaan bobot sesorang menilai). Distributional Weights provide intrinsic concern atas inequality. Artinya, utilitiarian menempatkan weighting yang lebih besar pada individu yang less placed. Padahal intrinsically, setiap orang memberikan weights yang berbeda.

Theory of Justice by John Rawl adalah salah satu yang mendukung hal ini. Pendapat Rawlsian yang lebih memebrikan bobot (weight) kepada least advantaged memang terdengar sedikit radical. Debat bermunculan diantara para ekonomis. Rawl mengedepankan principle of justice in term on primary good (goods that needed by rational man) seperti rights, opportunites, power, income and wealth. Namun, pendapat ini lebih dalam daripada utilitarian tetapi melupakan aspek bahwa tidak semua orang yang memiliki akses ke primary goods dapat menconvertnya menjadi good living.

Amarty Sen (Development as Freedom) menambahkan seharusnya dilihat dari capabilites tiap orang daripada hanya atas akses kepada primary goods. Pendekatan Sen fokus bahwa social justice harus dilihat dari terbukanya opportunities kepada setiap orang sesuai dengan fungsi mereka masing-masing. Pendapat Sen ini tidak hanya  kena ke outcome tapi juga opportunities.

Capabilities approach membawa kita kepada instrumental reason sebagai concern dari inequality dengan tambahan principle of justice. Dalam artian, Income hanyalah satu bagian dari dimensi yang luas. Dengan kata lain, perbedaan dalam income merefleksikan adanya perbedaan lain, seperti opportunities.

Tapi, semua pandangan diatas bertemu pada satu titik, yaitu, distribusi atas economic resources.

(Referensi : Anthony B. Atkinson "Inequality : What can Be done" chapter 1: setting the scene )

No comments:

Post a Comment