Inequality : Defending top one percent Income Individual (2) : The Big Trade-off, Mirrless Model Problem, and Social Planner - Economics, Accounting, and Taxation (Ecountax.com)
Ads Here

Inequality : Defending top one percent Income Individual (2) : The Big Trade-off, Mirrless Model Problem, and Social Planner

Harapan atas Equality of Opportunity

Problem inefisiensi ternyata bukan semata problem atas income inequality, tapi juga ke opportunity inequality. Bahkan banyak yang berpendapat opportunity equality sebagai social goal, karena kegagalan mencapai equality of opportunity jugalah yang menimbulkan ineficiency. 

Jika kontribusi seseorang dibatasi dalam ekonomi, maka economic pie juga tidak berkembang secara full-potensial.

Contohnya jika ada anak pintar namun berasal dari keluarga tidak mampu hingga tidak melanjutkan sekolah, maka hasilnya adalah underinvestment in education yang diakibatkan oleh inequality of opportunity --> inefficiency.

Equality of Opportunity image pixabay.com (www.taxedu.web.id)
Equality of Opportunity image pixabay.com 

Mengukur Inequality of Opportunity
Mengukur Inequality of opportunity adalah sangat sulit. Stiglitz (2012) mengusulkan sebuah ukuran metric yang mengukur intergenerational transmission of income. Sehingga dalam kondisi equal, kemungkinan seorang anak dilahirkan pada 10% top income dan 10% low income adalah sama, atau kemungkinan seseorang dilahirkan miskin dan kaya adalah sama, seimbang.

Intinya adalah : Dalam equality of opportunity, income seseorang tidak dipengaruhi oleh income orang tuanya.  

Namun isu itu tidaklah dangkal, intergenerational transmission of income tidak semata hanya dipengaruhi oleh kekayaan orang tua. Hal diluar itu misalnya IQ, jika orangtua-nya cukup pintar untuk menjadi kaya, maka keturunannya pun mewarisi kepintarannya untuk juga menjadi kaya, tidak semata-mata karena warisan.

Selain itu juga dipengaruhi oleh interpersonal-skill, self-control, focus,  dll.
Artinya, bukan berarti genetik dan keturunan adalah faktor penentu utamanya, tapi sebagai salah satu important point.

Sacerdote (2007) menyatakan dalam penentuan income, family heritage menyumbangkan 33%, 11% family environment, dan sisanya faktor diluar family.

Jika penelitian Sacerdote benar, maka melihat dari angka 11% tersebut, kita tidak jauh dari equality of opportunity.

Inequality of Opportunity : Fokus ke Left Tail Income Distribution (Poor People)
Untuk melihat lebih jelas Inequality of Opportunity, maka kita harus fokus ke poor people, jangan di rich people. Karena Poor people menghadapi banyak masalah socioeconomic problem. Cotohnya, anak-anak yang lahir miskin sulit mendapatkan investment in human capital, misalnya tidak dapat belajar sampai perguruan tinggi. Disamping itu, dalam middle class compare with rich class, opportunity ini lebih equal (Mankiw), misal middle and rich sama-sama memiliki akses ke perguruan tinggi.

Kesimpulannya, secara keseluruhan (broad-view) income inequality dan income growth tidak bisa dikatakan masalah dari ineficiency,  namun inequality of opportunity juga menjadi penyebab penting. 

Kecuali jika fokusnya adalah growing income of top Rich secara spesifik, barulah kita bisa katakan masalahnya adalah income inequality.

The Big Trade-off : Between Equality and Efficiency 

Arthur Okun (1975) mengatakan bahwa the big trade-off yang dihadapi society adalah memilih antara equality dan efficiency. Aplikasinya dalam penerapannya oleh pemerintah, pemerintah menggunakan Tax dan Transfer untuk mengequalisasi income, namun pada praktiknya sistem ini seperti gayung bocor "leaky bucket" dimana dalam prosesnya ada bagian yang terbuang. 

Pilihannya lanjut atau stop, lanjut dengan alasan equality, atau stop karena tidak efisien. Di antara 2 pilihan inilah yang membuat kita harus memilih trade-off antara keduanya.


Mirless Model : Government Sebagai Central Planner
Mirrlees (1971) meng-address isu ini dengan model utility individual digambarkan sebagai fungsi C (consumption) dan disutility sebagai fungsi L (Labor). Individu dibayar sebesar W sesuai productivity-nya. Tanpa adanya redistribusi, konsumsi seseorang adalah WL. 

Semakin tinggi productivity seseorang maka consumptionya juga semakin tinggi dan utilitynya semakin tinggi, namun marginal utilitynya semakin rendah. Nah, perbedaan diminishing marginal utility inilah yang menjadi alasan harus dilakukan redistribusi.

Pemerintah disini berperan sebagai central planner yang memindahkan economic resources dari high productivity namun low marginal utility kepada low productivity namun high marginal utility. Namun pengukuran ini sulit dilakukan karena pemerintah hanya dapat melihat total income WL, bukan produktivitasnya (W).
Jika sistemnya terlalu memajaki high productivity person, konsekwensinya high productivity individual menjadi malas, dan mereka mulai act like a low productivity individual.

First Best Egalitarian outcome, Second Best Incentive Compatible
Pada akhirnya, mengusung first-best egalitarian outcome dengan tax and transfer menjadi sangat sulit (karena leaky bucket, trade off, dan efek malas tadi) , namun second-best masih bisa dicapai dengan incentive compatible solution.

Second best : Irrespective dari Leaky Bucket fenomena, Mirrleesian Social Planner tetap redistribute income to some degree, namun tetap menjaga some level of acceptable inequality.

Pertanyaanya seberapa besar parameter menentukan level acceptable inequaltity?, Atau bagaimana menentukan optimal redistribution dimana work effort merespon incentive yang diberikan. Jika supply dari effort completely inelastic, maka the bucket has no leak, akhirnya social planner bisa mencapai egalitarian outcome. Jika supply effort elastic dan merespon insentives dengan sempurna, maka redistribution tidak perlu dilakukan.
Maka, perdebatan akan redistribution terfokus pada elastisitas dari supply labor.

3 Problem dalam Mirrless Model:

1. Mirless Menggeneralisir Preferensi, dan Menganggap Income = Equality
Problem dalam Mirrless Model (Utilitarian),  adalah setiap individual dianggap memiliki pereferensi yang sama, walaupun tingkat produktivitasnya berbeda. Untuk sebatas asumsi bisa-bisa saja, tapi praktiknya salah.

Income berbeda karena consumption, leisure, dan job attributes juga berbeda, artinya preferensi tiap orang berbeda-beda. Lockwood dan Weinzierl (2012) mengatakan memahami variasi atas preferensi tiap orang ini  menjadi dasar kuat bahwa redistribuston tidak penting, karena tingkat kepuasan tiap orang pasti berbeda-beda.

Misal ada orang yang bercita-cita menjadi lawyer (yang penghasilannya besar) namun ada juga yang bercita-cita menjadi guru SD (middle income). Perbedaan income bukanlah yang menjadi alasan, tapi kepuasan mengejar cita-cita.

Mirless menganggap preferensi tiap orang sama, dan utility hanya dilihat dari sebatas income. Mirless mewakili pendapat utilitarian, dimana government sebagai social planner meredistribusi income demi meredistribusi utility (tanpa adanya mekanisme insentif yang jelas). Padahal tingkat utility tiap orang berbeda.

2. Mirless Tidak Memperhatikan Tax Incidence
Dalam sudut pandang ekonomi, pemajakan atas good or service, pemajakan atas buyer atau seller, dan pemerataan beban pajak diantara buyer dan seller menjadi isu dalam tax incidence. Statutory Burden belum tentu sama dengan Economic Burden. Namun Mirrlees menggeneralisir bahwa labor tax hanya membuat worse off seller saja, demand atas labor supply juga dianggap infinitely elastic.

Namun yang nyata terjadi  adalah tax burden terdistribusi secara lebih besar di buyers, dan hal ini menjadi alasan tax policy menjadi less-well-targeted alat untuk redistributing economic well-being.

3. Mirless Menganggap Pemerintah yang terbaik sebagai Social Planner.
Para utilitarian mengganggap Government sebagai Benevolent Social Planner.

Pertanyaan yang lebih dalam adalah apakah Pemerintah bisa dianggap sebagai social planner yang terbaik dalam membuat kebijakan redistribusi penghasilan. 

Okun dan Mirrlees tidak membuka perdebatan antara ekonomis untuk menjawab hal tersebut. Seharusnya, ini menjadi alasan mempertanyakan asumsi dasar perdebatan diantara utilitarian.

(Referensi : Gregory Mankiw - Defending one Percent)

No comments:

Post a Comment