Inequality : Defending top one percent Income Individual (3-End) : Utilitarianism Problem, debat atas utilitarian, Alternatif Philosophical Framework - Economics, Accounting, and Taxation (Ecountax.com)
Ads Here

Inequality : Defending top one percent Income Individual (3-End) : Utilitarianism Problem, debat atas utilitarian, Alternatif Philosophical Framework

Problem dalam pandangan Utilitarianism

Bagi para ekonom, pendapat utilitarian yang mengusung income distribution terlihat sangat alami dan reliable.  Karena para utilitarian dan ekonom memiliki kesamaan pandangan intelektual. Apalagi utilitarian menggunakan model ekonomi untuk menjelaskan problem sosialnya. Meskipun terlihat alamiah dan reliable, ternyata aplikasinya menimbulkan banyak masalah.

Faktanya, jika pendekatan utilitarian diterapkan di society, problem lainnya muncul terkait penerapan constrained optimization
Equality of Income and Productivity image pixabay.com (www.taxedu.web.id)
Equality of Income and Productivity image pixabay.com 
Beberapa problem utilitarian antara lain:

1. Interpersonal Comparability of Utility 
Pada dasarnya Utility is not inherently measurable, jadi membandingkan utility seseorang dengan orang lain subject to perbedaan harga dan level of incomes, bukan berarti bisa diukur secara pasti satuan ukurannya. Begitu juga dengan marginal utility seseorang tidak bisa dikatakan lebih besar atau lebih kecil hanya karena besaran income-nya berbeda.

2. Geographic Scope of the Analysis
Analisis untuk income redistribution seharusnya mencakup nasional level, namun pelaksanaannya tak mudah. Terlebih lagi dalam aplikasi within contry atau between country, dalam artian redistribution policy within country (tax and transfer) belum tentu applicable untuk between countries (foreign aid). Apalagi marginal tax rate within country pasti sama, namun between countries berbeda.

Aplikasinya utilitarianism sulit pada global level, Makanya harus dipikir ulang untuk national level. 

3. Greater Use of Tags, Too much use
Mathew Weinzierl dan Mankiw mewaspadai bahwa utilitarian terlalu menggunakan tags diatas batas normal. Misalnya utilitarian mengusulkan untuk memajaki individu berdasarkan gender, tinggi badan, ras, keturunan dll. Seharusnya tax diukur berdasarkan marginal productivity-nya (income),


If utilitarianism takes policy that most people dislike, then we should consider that policy.

4. Moral Intuition for First Best Outcome Social Planner
Bayangkan misalnya Goverment Sebagai Social Planner (first-best outcome)  dapat mengukur tingkat productivity seseorang, maka government tidak perlu memikirkan incentives, tapi langsung apply tax and policy transfer yang mentarget productivity. Social planner lalu mengequalize marginal utlity tiap orang berdasarkan tingkat konsumsinya, padahal productivity orang berbeda.

Hasilnya ketika Social Planner memaximize society total utility, less productive individual enjoy higher utility than the more productive individual

Bahkan anak kecil pun tahu kalau orang rajin harus diberi hadiah, bukan disamaratakan dengan orang malas (Kanngiesser and Warneken 2012).

Berdasarkan hal itu semua, haruskah kita menerapkan pendekatan utilitarian?
Menurut Mankiw, we need optimal government that set tax and transfer that different form utilitarian social planning.

Debat atas utilitarian untuk menaikan tarif pajak

Oleh Utilitarian, pembahasan tentang inequality terlalu berfokus kepada 1% top income level individual. Contohnya progresive tax yang terfokus kepada high income.  Aplikasinya pendukung utilitarianism berpegang kepada Pendapat Okun dan Mirrless yang menyatakan Rich People became rich because they have more contribution to the economy, but any addition few dollar they got the value is less. So government should take the rich income to the less-productive individual because the utility will be higher received by less productive. Nevertheless the economic pie will be shirinking (since the most productive will work less), but it is the cost that we should bear.

Disamping itu, ditambah pendapat dari Warren Buffet yang menyatakan bahwa dia hanya dipajaki 17.7% dari total incomenya, sedangkan Sekretarisnya dipajaki 30%. Sebuah pendapat tersirat bahwa progresive tax belum efektif memajaki rich people (dan menjadi trigger bagi utilitarian untuk memberikan masukan untuk mengubah skema perpajakan).

Beberapa argumen Oposisi untuk menaikan pajak memiliki problem antara lain:

1. Melihat Secara Aggregat beban Pajak
Tidak bisa hanya dilihat dari sisi ekonomis per individual saja, namun juga melihat aspek akuntansinya. Sebagai contoh. Pemajakan atas Income kepada Warren Buffet sebagian besar adalah passive income taxation (Dividend and Capital Gain) yang sudah dipajaki di Coorporate level, sehingga di pajaki lebih rendah.

Disamping itu jika ditotal secara aggregat, the 1% rich di USA membayar sebesar 29.8% dari total income mereka (hampir sebesar tarif progresif).

2. Income do not reflect the economic contribution
Dalam Asumsi standarnya, earning seseorang harus selevel dengan marginal productivitynya,  tapi dalam praktiknya banyak deviasinya. Jika Rich People seperti Steve Jobs mendapat kekayaan dari rent seeking, maka product nya pasti jelek. Namun pada kenyataanya produknya bagus dan diterima di pasar. Nah apakah pasarnya yang mengalami market failure atau Rent Seeking dari Political Process?.

Kenyataannya mereka kaya bukan karena rent-seeking atau market failure exploitation, namun karena mereka memang memberikan bigger economic contribution to the society

Contoh lainnya, CEO perusahaan publik yang dibayar sangat tinggi. Namun hal ini bukan hanya di perusahaan publik, tapi juga di perusahaan privat. Cronqvist and Fahlenbrach (2013) menyatakan private company membayar CEO lebih tinggi dari standar gaji. Kaplan (2012) juga menyatakan dalam 30 tahun terakhir, Private Company membayar CEO mereka sangat tinggi.

Artinya CEO dibayar sangat tinggi karena memang value dan kontribusi mereka tinggi (baik di perusahaan publik maupun private). Bukan karena dinilai ketinggian.

3. Rich Benefit more form the Infrastructure (Benefit Principle)

Argumen terakhir utilitarian  yaitu orang kaya menikmati infrastruktur lebih banyak dari orang miskin, makanya harus dipajaki lebih tinggi. Hal ini sesuai yang dikatakan Presiden Barrack Obama (2012) bahwa pembangunan adalah hasil kontribusi dari pemerintah, di mana bisnis dapat menikmatinya dan mendapat benefit dari apa yang di fasilitasi pemerintah (benefit principle).

Artinya, lebih mengedepankan benefit principle dari pada ability to pay principle
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, government expenditure di USA lebih banyak dikeluarkan untuk transfer payment kepada masyarakat daripada membangun infrastructure. Artinya pemerintah berkontribusi meningkatkan kesejahteraan tidak pada membangun infrastruktur, jalan, legal dll, namun lebih karena to tax from Peter to Pay Paul.

Pembahasan atas government benefit service jangan melupakan hal ini.

Artinya argumen utilitarian untuk menaikkan tarif pajak valid in principle but dubious in practice.  Mereka mengatakan bahwa tarif pajak bersifar regresif, bahwa rich people dibayar melebihi economic contribution, bahwa rich people benfit more in infrastructre. Semuanya terlihat vague.

Alternative Philosophical Framework 

a. Social Insurance Contract

Secara filosofis, motivasi untuk melakukan income redistribution adalah kembali ke original position behind a veil of ignorance (Rawls, 1971).  Pada saat kita dilahirkan, kita tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, pandai atau pintar. Lalu government menyediakan social insurace contract dimana kita (sebagai risk averse) bisa memilih original position kita. Nah social insurance contract tersebut adalah kontribusi kita kepada pemerintah dalam bentuk income redistribution karena kita dilahirkan di Keluarga yang lebih mampu.

Kidney Theorem
Contoh nya dalam aplikasi original position ini, ginjal. Setiap orang diberikan dua buah ginjal, walaupun bisa hidup dengan hanya satu ginjal. Malang bagi beberapa orang, mereka sakit dan kedua ginjalnya tidak berfungsi.

Merujuk ke teori original position, setiap orang yang sehat pasti mau meredistribusi salah satu ginjalnya untuk diberikan kepada orang yang sakit dengan harpan apabila orang tersebut yang sakit, ada orang yang mau mendonorkan satu ginjal mereka (risk averse)

Maka dari itu, beranjak dari teori social insurance contract, income redistribution harus dilihat sebagai upaya pemerintah untuk meredistribusi kidney donation.
Sanggahan atas kidney Theorem 
Namun pendapat ini ditentang banyak pihak dengan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas organ-nya. Dan social contract insurace tidak bisa menggantikan (supersede) hak seseorang atas organ pribadinya tersebut.


Bila social contract tidak dapat menggantikan hak pribadi tiap orang atas organ pribadinya, lalu justifikasi apa bagi social contract untuk menggantikan hak seseorang atas penghasilan dari hasil jerih payah pekerjaannya.

b. Just deserts perspective (Mankiw, 2010) : Externalities, Pigovian Tax

Alternatif lain untuk mendukung redistribution adalah just deserts perspective. Mankiw Berpendapat dalam kondisi classical competitive equilibrium tanpa adanya externalities atau public goods, tiap orang harus mendapat compensation congruent with their contributions. 

Tiap orang dibayar berdasarkan value of their marginal product, makanya government tidak perlu melakukan redistribution.

Namun kenyataanya ada bad externalities, nah pemerintah melakukan correction atas bad externalities ini dengan menerapkan pigovian taxes atau subsidy. Dan Progresive tax bisa diterapkan dengan justifikasi atas benefit principle.

Jadi, dalam just Desert Perspective Mankiw Berkesimpulan :
  • Pigovian Tax and Subsidy --> Correct Negative Externalities
  • Progresive Tax --> Benefit Principle atas Public Goods.
  • Transfer Payment --> dianggap sebagai public goods (Thurow 1971)
Alternatif ini jauh diatas pemikiran para utilitarian yang hanya berfokus kepada marginal utility termasuk Okun dan Mirrlees. Pendapat ini mengingatkan kembali theory of "Just Taxation" Knut Wicksell (1958), Erik Lindahl (1958).

Dan yang lebih penting, pendapat ini sejalan dengan intuisi moral kita, tidak mengambang seperti utilitarian. Just Desert Perspective lebih responsive terhadap economic questions untuk menetukan optimal policy, dimana pada sisi lain pendapat utilitarian masih memiliki banyak pertanyaan yang harus dijawab, seperti seberapa cepat marginal utility turun? bagaimana distribusi atas produktivitas? seberapa jauh pajak mempengaruhi work efforts?.

Just Deserts Perspective melihat dari sisi pertanyaan yang berbeda, seperti bagaimana rich people merefleksikan extraordinary productivity atau hanya karena berhasil mengeksploitasi market failure? Bagaiman Benefit dari Public Goods bisa di distribusi? 

Just Deserts Perspective Vs Utilitarian Social Planner

Untuk lebih menggambarkan perbedaan atas kedua pandangan ini, sebagai contoh pemrintah menaikkan tarif pajak hingga 75%.

Dari pandangan utilitarian social planner, hal ini belum tentu bisa di terapkan namun harus di kalkulasi dulu apakah dampak buruknya menghasilkan bad insentif yang terlalu besar (mengkalkulasi antara bad insentif effect dan utility nya)

Dari pandangan just deserts, pajak terlalu tinggi tersebut jelas salah (confiscatory tax) tanpa harus memperhitungkan dampak insentifnya. Mengambil hasil jerih payah seseorang terlalu tinggi hanya karena pemerintah dapat melakukannya jelas salah, dan unjustice

Kesimpulan

Pada akhirnya, pendapat atas income redistribution sangat beragam, dan empirical research secara ekonometrik belum dapat menjembatani teori yang ada. Namun satu hal, fundamental normative ekonomi tidak bisa selalu bergantung pada positive ekonomi.

(Referensi : Gregory Mankiw - Defending one Percent)

No comments:

Post a Comment