Inequality : Defending top one percent Income Individual (1) : Egalitarian Utopia, Economic Pie, Rent seeking, and Supply Demand of Labor - Economics, Accounting, and Taxation (Ecountax.com)
Ads Here

Inequality : Defending top one percent Income Individual (1) : Egalitarian Utopia, Economic Pie, Rent seeking, and Supply Demand of Labor

Perfect Income Equality : Seperti apakah?

Jika saja di dunia ini tercipta kondisi perfect equality, dimana sistem supply and demand of labor menciptakan tingkat equilibrium dimana setiap orang dibayar berdasarkan value of their marginal products. Setiap orang akan punya incentives untuk mempersembahkan efficient amount of efforts. Gap antara rich and poor menghilang, dan masyarakat tidak perlu concern dengan income redistribution policy lagi. Pajak bisa dihitung lumpsum tax yang digunakan seluruhnya untuk public spending, bukan fokus ke redistribution. Pada akhirnya masyarkat menikmati perfect equality dan juga perfect efficiency.
Rich People 1% Top Income Illustration credit Pixabay.com , (www.taxedu.web.id)
Rich People 1% Top Income Illustration credit Pixabay.com


Eqalitarian Utopia

Sewaktu Steve Jobs hadir dengan IPOD, IPHONE, atau JK Rowling dengan buku Harry Potternya, atau Steven Spielberg dengan filmnya. Setiap orang diseluruh dunia menyambut dan menikmati hasil karya mereka, katakanlah dengan mambayar sebesar $100. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi disini seller-nya cuma seorang, sedangkan buyer-nya adalah orang dari seluruh dunia. Meskipun transaksi yang terjadi adalah voluntarily exchange, tetapi redistribusinya sangat unequal. Entrepreneur is Richer than Everyone else, Mankiw menyatakan fenomena ini sebagai "Egalitarian Utopia".

Lalu pertanyaan muncul, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait unequal redistribution ini? adakah kebijakan publik yang harus meresponnya? Haruskah pemerintah memajaki rich people tersebut lebih tingi dan men-transfernya ke poor people supaya tercipta kondisi lebih equal?

Mankiw mengambil contoh di USA dimana average income tumbuh sangat pesat sejak tahun 1970, namun pertumbuhan terbesar terjadi pada 1% individu teratas. Memang orang-orang ini berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi apakah pemerintah bisa tinggal diam?. Porsi 1% terhadap total income naik dari 7,7% (1973) menjadi 17,4% (2010). Bahkan 1% dari 1% tersebut 0.01% pun memiliki porsi dari 1% sisanya (0,5% di 1973, menjadi 3,3% di 2010). Pemerintah US pun merespon kebijakan ini dengan membuat aturan pajak yang lebih progresif untuk individual.

Political Philosophy Penting

Mankiw berpendapat memahami inquality tidak hanya bisa melihat dari sisi ekonomi saja, tetapi juga filsafat politik. Ekonomis harus sadar bahwa disiplin ekonomi tidak bisa serta merta merancang kebijakan tanpa membertimbangkan policy response-nya. Ekonom yang berusaha membahas policy response atas inequality terkadang kurang dalam dari sisi political-nya (playing the role of amateur political philosopher).

Apakah Inequality berarti inefisiensi?

Jika sebelumnya kita bahas, equality menyebabkan  efficiency (atau sebaliknya), apakah berarti inequality selalu inefficiency?
Karena dalam pandangan ekonomis, inequality tidak sehat hanya beralasan karena lead to economic inefficiency. Lalu apakah harus tinggal diam? Tidak, Kenapa? Jika beranjak dari Pareto Criterion, "if we can make some people better off without making anyone worse of, who could possibly object? (Mankiw).

Namun, better off itu harus dilihat dari dua sisi juga, jangan hanya better off di poor people, tetapi juga better off di rich people. Kebijakan yang ada sekarang ini hanya berfokus pada better of di poor people.

The Inefficiency of Economic Pie (Kaldor Hicks Criterion)
Pendapat umum mengatakan bahwa inequality --> inefficient karena mengurangi ukuran economic pie, pendapat ini melihat inefficiency dari perspektif Kaldor-Hicks criterion. Contohnya 1$ yang diterima top 1% people mengurangi $2 yang seharusnya diterima poor people, dari perspektif ini, inequality jelas adalah problem sosial yang harus diatasi. Kenapa, bayangkan jika 1% top individual bisa kaya karena successful rent-seeking behavior. Maksudnya? income yang mereka terima berasal dari rent-seeking dan government meresponnya dengan memberikan monopoly power, favorable regulation, trade restriction dll. Maka jelas hasilnya adalah inefficiency. Artinya inefficiency yang berasal dari rent-seeking behavior-lah yang menjadi sosial problem.

Rent Seeking Behavior through Political Process
Joseph Stiglitz (The Price of Inequality, 2012), meyakini bahwa rent-seeking yang membuat rich people kaya, dan memperlebar jarak inequality. Walaupun Mankiw tidak sependapat, karena rent-seeking bukan hanya ada sekarang ini saja, tapi dari dulu, bahkan sejak inequality masih rendah.

Supply Demand Caused Inequality : Interaksi Teknologi dan Pendidikan
Claudia Goldin dan Lawrence Katz (The Race Between Education and Technology, 2008) menyatakan skill-biased technological change memacu demand berlebih atas hiigh educated skilled labor, sehingga wage-nya juga berlebih. Menurut mereka hal inilah yang menyebabkan inequality karena memperlebar jarak antara skilled dan unskilled labor. Teori ini secara sederhana mengatakan bahwa inequality terjadi karena interaksi antara teknologi dan pendidikan. Lalu society meresponnya dengan mensupply lebih banyak skilled labor agar gap menurun. Ketika gap menurun educational advancement juga melambat, begitu siklusnya, sampai ada technological advancement yang baru.

Jadi inequality bukan hanya terkait rent seeking atau ineficiency, tapi juga karena supply and demand labor.

U-Shape Pattern : Bukti Nyata Inetaksi 
Lebih lanjut, Goldin dan Katz adalah akademik yang fokus pada broad changes of inequality, tidak spesifik di 1% top level. Mereka menemukan bahwa earning gap diantara skilled dan unskilled labor memiliki pola U-shape pattern, pola yang hampir sama dengan yang terjadi di 1% top level.
Maka secara broad-view, inequality terjadi karena interaksi antara education and technology yang menyebabkan perbedaan income untuk skilled and unskilled labor, bukan rent seeking through political process.
Hal ini juga yang terjadi di 1% top level inequality, dimana ada beberapa individual yang highly educated dan exceptionally talented yang bisa menghasilkan superstar incomes yang tidak ada pada jaman dulu.

Pendapat ini didukung oleh Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee (Race Againts The Machine, 2011). Mereka mengatakan "Dengan bantuan digital teknologi, CEO, Pengusaha, Investor bisa meningkatkan dan menyebarkan cakupan kemampuan mereka ke seluruh dunia dan menghasilkan unimaginable reward".

Melihat hal diatas, teori yang menyebabkan inequality bisa dibagi menjadi dua, yaitu Stiglitz dengan Rent Seeking Through Political Process, dan Goldin-Katz dengan Education-Technology Interaction.

Stiglitz Rent Seeking Theory : Rising Inequalty
Bagaimanapun juga, Stiglitz teori ada benarnya jika kita hubungkan inefisiensi karena rent-seeking meningkatkan inequality. Inefisiensi yang disebabkan karena Rent-seeking lah yang menyebabkan "rising inequality".

Karena inequality adalah symptom dari masalah yang lebih dalam yaitu : inefficiency. 
Tarif Pajak Progresif dan Transfer mungkin dapat mengurangi inequality, tapi belum tentu merespon masalah utamanya yakni inefisiensi,yang bisa dilakukan adalah perubahan policy.

Contohnya, jika ada importir yang memonopoli impor suatu produk demi memperkaya diri, maka solusinya bukan memajaki lebih tinggi importir itu, tapi menghilangkan monopolinya dengan trade policy.
Namun, Mankiw tidak sepaham jika rent-seeking lah yang menyebabkan inequality, tapi tetap mendukung upaya mengatasi rent-seeking.

Contoh Rent Seeking menyebabkan Inefisiensi
Misalnya dalam industri keuangan yang menyediakan pekerjaan dengan tingkat penghasilannya tinggi seperti investment bank, hedge fund dll. Mereka memiliki power menentukan pinjaman/investasi untuk menentukan hidup-matinya suatu industri. Perbedaan waktu menentukan keputusan investasi sedetik saja bisa mengubah tingkat profit secara keseluruhan. Akhirnya upaya rent-seeking dalam industri ini menjadi lazim, ditambah lagi profit yang dihasilkan belum tentu sebanding dengan social cost yang diderita oleh masyarakat. Namun policy juga sulit merespon untuk membatasi nilai profit di Industri keuangan.

Jadi masalahnya bukan takut atas orang kaya baru yang muncul, tapi untuk memastikan bahwa kemunculan mereka memberikan manfaat sosial bagi masyarakat.
(Referensi : Gregory Mankiw - Defending one Percent)

No comments:

Post a Comment