Pendahuluan : Pentingnya Inovasi untuk pertumbuhan ekonomi
Sebagai Negara berkembang yang membutuhkan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang, Indonesia membutuhkan skema kebijakan pemerintah yang
mendorong kegiatan inovasi di bidang teknologi dan penciptaan kekayaan
intelektual (intangible property
(“IP”)). Kenapa? Karena untuk menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan
berkelanjutan, suatu Negara butuh pertumbuhan inovasi dan ide yang membantu
agar tenaga kerja dan mesin produksi agar bekerja lebih efektif. Hasilnya,
dengan sumber daya yang sama hasil yang didapat lebih baik dari sisi kualitas
atau kuantitas, sehingga ketika dijual produk tersebut dihargai lebih baik.
Adapun yang terjadi sekarang menurut saya, inovasi dan idea
ini memang telah digunakan dalam proses produksi di Indonesia. Namun,
kepemilikan atas IP tersebut masih banyak dimiliki asing. Sebagai contoh dalam
industri manufaktur, meskipun penggunannya membantu meningkatkan proses
produksi, tetapi transfer of knowledge
tidak terjadi secara maksimal. Ditambah lagi penghasilan atas penjualan output
yang dihasilkan akan tergerus oleh besarnya biaya royalty yang harus dibayar ke
luar negeri.
Maka dari itu, agak sulit bagi perusahaan Indonesia untuk catching up dalam penciptaan IP,
disamping lebih rasional secara bisnis untuk memakai IP yang sudah ada
ketimbang menciptakan sesuatu yang baru, risikonya terlalu besar. Namun menurut
saya, untul level personal (orang pribadi) seharusnya tidak ada kata terlambat
untuk para innovator menciptakan IP dan
mendaftarkannya atas nama pribadi dan memperoleh Hak atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) dan mengkomersialisasikanya untuk mendapatkan royalti.
Tentunya perlu peran pemerintah agar dapat mendorong para
innovator dalam penciptaan IP. Nah, salah satunya kebijakan pajak yang
memberikan insentif kepada para inovator. Insentif ini berupa pemajakan atas
penghasilan berupa royalti yang diterima. Namun pertanyaanya adalah apakah
insentif yang berjalan saat ini sudah cukup untuk mendorong kegiatan inovasi
tersebut. Artikel ini mencoba melihat sejauh mana peran kebijakan pajak untuk
mendorong kegiatan inovasi di level orang pribadi dengan mencoba membandingkan perlakuan
Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan atas modal yang diterima oleh orang
pribadi.
Perbedaan Perlakuan Pemajakan : Ketidakmerataan Beban Pajak
Katakanlah ada 3 orang yang bersahabat. Si Divi, Si Intris,
dan Si Roya. Divi dan Intris beruntung karena dilahirkan dari keluarga yang
berkecukupan. Sedangkan Roya, harus belajar keras demi masa depan yang cerah.
Singkat cerita ketika mereka dewasa, Divi dan Intris diberikan modal yang cukup
besar dari keluarganya untuk memulai usaha. Divi sangat tertarik dengan dunia
saham, sehingga memutuskan untuk menjadi investor jangka panjang di dunia
investasi saham. Intris mengolah modalnya dengan memberikan pinjaman kepada
orang-orang sekitar dan mengenakan bunga yang tinggi, Intris tidak tertarik
membeli obligasi karena bunganya kecil. Sedangkan Roya, tidak memiliki modal
apapun, namun berkat kerja kerasnya, Roya berhasil menjadi penulis buku dan
menerbitkannya di penerbit komersial.
Gambar diolah dari pixabay free image
Dilihat dari sumber penghasilan tersebut, ketiganya dapat
dikategorikan mendapatkan Penghasilan Pasif (Passive Income) masing-masing. Divi mendapatkan dividen, Intris
mendapatkan bunga pinjaman, dan Roya mendapatkan Royalti. Sebagai Wajib Pajak
yang baik, tentunya penghasilan tersebut dipajak sesuai aturan yang berlaku. Nah pertanyaanya apakah dari sisi beban pajak,
apakah terdapat kesetaraan beban pajak diantara ketiga penerima penghasilan
pasif tersebut.
Untuk melihat hal implikasi pajaknya. Pertama kita memahami
bahwa pemajakan atas objek penghasilan di
Indonesia tunduk kepada Pasal 4 UU no. 36 2008 (UU PPh). Pasal 4 membagi
pemajakan peghasilan menjadi tiga golongan besar yaitu:
a.
Pasal 4 ayat 1, Jenis penghasilan ini dipajaki
secara secara komprehensif dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Karena
pemajakannya bersifat komprehensif, jumlah Pajak yang terhutang baru akan
diketahui pada akhir tahun pajak. Segala jenis penghasilan yang di potong
pajaknya pada tahun berjalan dapat digunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi beban pajak akhir tahun.
b.
Pasal 4 ayat 2, Jenis penghasilan ini dipajaki
secara scheduler, atau biasa disebut final,
karena sifat tarifnya final dan pemajakannya final/finish pada saat penghasilan dipotong pajak, dan terhutangnya
sesuai jadwal penerimaan penghasilan tersebut sehingga tidak perlu diperhitungkan
kembali di akhir tahun dengan penghasilan lainnya.
c.
Pasal 4 ayat 3, Jenis penghasilan ini merupakan
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
No
|
Penghasilan
|
Pemajakan atas Penerima Penghasilan
|
|
Orang Pribadi
|
Badan
|
||
1
|
Dividen
|
4 ayat 2
|
4 ayat 1, sebagian
4 ayat 3
|
2
|
Interest
|
4 ayat 1
|
4 ayat 1
|
3
|
Royalti
|
4 ayat 1
|
4 ayat 1
|
Dari tabel diatas (dari perspektif orang pribadi) terlihat
bahwa terdapat perbedaan perlakuan perpajakan atas ketiga sumber penghasilan
tersebut. Divi sebagai investor saham,
dipajaki secara final dibawah Pasal 4 ayat 2 UU PPh dan tidak perlu repot
memperhitungkan penghasilan berupa dividen dengan penghasilan lainnya pada
akhir tahun. Sedangkan Intris dan Roya harus memperhitungkan kembali Interest
dan Royalti yang diterimanya dengan penghasilan lain dan menghitung pajaknya
pada akhir tahun.
Tapi apa ada perbedaan dalam beban pajaknya. Dilihat dari tariff yang
dikenakan, Dividen yang diterima Divi sebagai Orang Pribadi akan dipajaki final
sebesar 10% dari total penghasilan brutonya. Sedangkan Intris dan Roya harus
memperhitungkan kembali secara komprehensif penghasilan bunga dan royalty,
sehingga tarif progresif pasal 17 orang pribadi yang diperhitungkan.
Untuk lebih jelas menggambarkan, asumsikan ketiganya
mendapatkan penghasilan netto yang sama sejumlah Rp. 200 juta rupiah (asumsi
penghasilan netto ini tidak memperhitungkan biaya karena ketiganya adalah
penghasilan pasif). Pada akhir tahun, beban pajak ketiganya akan berbeda
seperti yang terlihat pada table dibawah ini : (asumsikan tidak pengurang
penghasilan netto untuk kemudahan, dan tidak ada penghasilan lain)
No
|
Keterangan
|
Dividen yang diterima Divi
(Pasal 4 ayat 2)
|
Bunga yang diterima Intris
(Pasal 4 ayat 1)
|
Royalti yang diterima Roya
(Pasal 4 ayat 1)
|
1
|
Penghasilan Bruto
|
200.000.000
|
200.000.000
|
200.000.000
|
2
|
Pengurang Penghasilan Bruto (Biaya)
|
Final
|
-
|
-
|
3
|
Penghasilan Netto
|
200.000.000
|
200.000.000
|
|
4
|
Pengurang Penghasilan Netto (PTKP, Kompensasi Rugi,
Sumbangan Agama)
|
-
|
-
|
|
5
|
Penghasilan Kena Pajak
|
200.000.000
|
200.000.000
|
|
6
|
Tarif Pajak
|
10% x 200.000.000
|
5% x 50.000.000
15% x 150.000. 000
|
5% x 50.000.000
15% x 150.000.000
|
7
|
Pajak Terhutang
|
20.000.000
|
25.000.000
|
25.000.000
|
8
|
Beban Pajak Efektif
|
10%
|
12,5%
|
12,5%
|
9
|
Kesimpulan
|
Beban Pajak akan tetap
flat, berapapun penghasilannya
|
Semakin besar
penghasilannya, semakin tinggi beban pajaknya
|
Semakin besar
penghasilannya, semakin tinggi beban pajaknya
|
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa Divi sebagai
penerima dividen mendapatkan insentif untuk untuk terus berinvestasi, paling
tidak sampai dengan penghasilan berupa dividennya diatas Rp. 50 juta pertahun
(untuk mengkomparasi dengan benefit yang diterima oleh penerima penghasilan
pasal 4 ayat 1 jika penghasilan dibawha 50 juta, tarif 5%). Setelah melewati lapisan
50 juta, beban pajaknya akan flat 10%.
Sedangkan untuk Intris dan Roya, semakin besar penghasilan yang
mereka terima akan semakin besar pula beban pajaknya (sesuai dengan lapisan tarif
progresif).
Perbedaan Pemotongan Pajak Tahun Berjalan : Sebuah Strategi Perencanaan Pajak
Setelah melihat dari sisi pemajakan akhir tahun, sekarang
kita telaah dari sisi pemajakan tahun berjalan melalui skema pemotongan dan
pemungutan (potput). Hal ini untuk melihat apakah adanya perbedaan perlakuan
skema pemotongan antara ketiga penghasilan tersebut. Perbedaan perlakuan pemotongan
mencakup tarif potput, dan mekanisme pemotongan tersebut meliputi siapa
pemotongnya (pemberi penghasilan) dan siapa yang dipotong (dalam hal ini adalah
Orang Pribadi).
PPh di potong pada saat penghasilan diterima (pay as you earn) atau withhold at source, Divi sebagai
penerima penghasilan Dividen akan dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%,
tidak ada pilihan untuk tidak dipotong karena pemberi penghasilan dividen pasti
adalah Badan Usaha (Perseroan Terbatas) diamana Badan usaha wajib memotong
pajak.
Sedangkan Intris yang menerima penghasilan bunga pinjaman, akan
dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% atas penghasilan berupa bunga, namun
pemotongan penghasilan ini hanya akan dilakukan jika pemberi penghasilan adalah
pemotong pajak, misalnya badan dan orang pribadi pemotong. Artinya ada skema
bagi Intris supaya penghasilan bunganya tidak dipotong pajak. Caranya, pinjaman
hanya diberikan kepada orang pribadi yang bukan pemotong, maka tidak ada skema
pemotongan, meskipun bunga yang di kenakan sebesar apapun.
Malang bagi Roya, penghasilan atas royalti tidak ada skema
untuk tidak dipotong pajak penghasilan. Karena Roya hanya dapat melisensikan
hak ciptaannya kepada Badan Usaha penerbit, yang pastinya tiap penghasilan
berupa royalti yang diterima akan dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% atas royalty.
Adapun ilustrasi atas perbedaan perlakuan potput dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
No
|
OP Penerima
Penghasilan Berupa :
|
Pemotongan Oleh Pemberi Penghasilan
|
|
Orang Pribadi
|
Badan
|
||
1
|
Dividen
|
n/a
|
Ya, 10%
|
2
|
Interest
|
Tidak Dipotong, Kecuali OP merupakan Pemotong
|
Ya, 15%
|
3
|
Royalti
|
Tidak Dipotong, Kecuali OP merupakan Pemotong*.
Namun tidak Lazim perjanjian Royalti antara
Pribadi.
|
Ya, 15%
|
Kesimpulan : Kegiatan Inovatif mengalami disinsentif fiskal
Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan dua hal.
1. 1.) Dilihat dari sisi beban pajak akhir tahun, Divi Investor
Saham yang menerima penghasilan dividen mendapat insentif berupa beban pajak
yang flat. Jika disandingkan dengan Intris dan Roya, Divi memiliki insentif
untuk terus meningkatkan investasinya, karena berapapun besaran penghasilannya,
beban pajaknya akan tetap flat. Sedangkan untuk Intris dan Roya, semakin besar
penghasilan yang diterima, akan semakin besar beban pajak yang harus dibayar.
2. 2.) Dari sisi skema pemotongan pajak. Intris
memiliki insentif lebih dibandingkan Divi dan Roya. Penghasilan bunga yang
diterima Intris, bisa berpotensi tidak dipotong Pajak, selama dilakukan
perencanaan bisnis dengan hanya memberikan pinjaman kepada bukan pemotong
(orang pribadi).
No
|
Penerima
Penghasilan
|
Insentif Pemajakan
|
|
Beban Pajak Ahir Tahun
|
Skema Pemotongan Pajak
|
||
1
|
Divi (Investor Saham)
|
Flat 10%, terdapat insentif untuk meningkatkan
investasi agar mendapat penghasilan lebih.
|
Ya, 10%. Tidak ada skema untuk tidak dipotong
|
2
|
Intris (Pemberi Pinjaman)
|
Beban Pajak meningkat dengan meningkatnya
penghasilan. Tidak terdapat insentif
untuk meningkatkan penghasilan.
|
Ya, 15%. Ada skema untuk tidak dipotong pajak.
|
3
|
Roya (Penulis)
|
Beban Pajak meningkat dengan meningkatnya
penghasilan. Tidak terdapat insentif untuk meningkatkan penghasilan.
|
Ya, 15%, hampir tidak ada skema
untuk tidak dipotong pajak.
|
Dari hal tersebut, dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara fiskal, kegiatan inovatif yang dilakukan Orang Pribadi di Indonesia
masih belum menadapatkan insentif fiskal yang cukup dibandingkan dengan
penerima penghasilan pasif lainnya. Walaupun bukan menjadi faktor secara
keseluruhan, namun hal ini cukup menjadi pertimbangan bahwa pada kenyataanya
dilapangan Orang Pribadi lebih memilih
berinvestasi ke saham atau loan dariapa investasi dalam kegiatan
inovatif. Selain risikonya tinggi, tidak cukup terdapat insentif fiskal yang
menjadi faktor penarik.
Saran : Finalkan Royalti
Walaupun agak sedikit terburu-buru, dan mungkin penjelasannya akan
ada pada tulisan yang lain. Ada baiknya penghasilan berupa royalti di masukkan
ke dalam penghasilan yang dipajaki secara final pasal 4 ayat 2, dengan tariff yang
minimal sama dengan Penghasilan berupa dividen Orang Pribadi.
Harapannya adalah memberikan insentif kepada Orang Pribadi
untuk berinvestasi dalam kegiatan inovatif, yang mudah-mudahan bisa menjadi
trigger tumbuhnya para inovator, sekali lagi meskipun bukan faktor utama,
namun pastinya pajak menjadi salah satu pertimbangan.
Sedih sekali lihat nasib penulis di Indonesia. Kalau dilihat dari yang anda jelaskan, lebih baik tidak usah jadi penulis. jadi investor aja. Tapi saya ingin tetap jadi penulis, jadi penulis untuk mencerdaskan bangsa...
ReplyDeleteMampir blog saya ya, hehehe. http://www.kretaamura.com/