Haruskah Fokus ke Kemiskinan?
Martin Feldstein, seorang Ekonomis dari Harvard mengatakan bahwa jangan terfokus pada general distribution of income atau general extent of Inequality, namun harus ke bagaimana menghilangkan kemiskinan. Banyak Negara Maju yang sudah berupaya keras mengurangi kemiskinan, namun progressnya masih sangat lambat.
Di USA sendiri, pada tahun 1948 tingkat kemiskinan berada pada titik 33% (poverty diukur in terms of purchasing power), lalu Presiden Lyndon Johnson meluncurkan program War on Poverty pada 1964 dan berhasil menurunkan tingkat kemiskinan samap pada titik 19%. Persentase ini bertahan dan cenderung tetap, namun karena total populasi terus bertambah, angka realnya juga bertambah. Dalam artian dalam nilai total real individual yang berada dibawah kemiskinan sebenarnya bertambah. Saat ini diperkirakan +/- 45 Juta Warga USA yang berada dibawah garis kemiskinan.
Di UK, tingkat kemiskinan diukur dari proporsi terhadap median income. Tingkat kemiskinan sendiri pada 1992 tercatat pada 22%, dan 2011 di angkat16%. Turunnya angka kemiskinan ini tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Conservative Government under John Major. Namun penurunan poverty juga diikuti dengan peningkatan top income shares. Pemerintahan sekarang, under labour government dianggap intensely relxed (acuh) atas peningkatan top incomes shares. Meskipun angka 16% terlihat rendah, namun nilai ini masih diatas dibandingkan tahun 1960 dan 1970, yang pada saat itupun dianggap pada level yang cukup mengagetkan.
Lalu di negara-negara European Union (EU), tingkat kemiskinan meningkat dewasa ini. Social Protection Comitte pada tahun 2014 dalam laporannya menyatakan bahwa progress mengurangi kemiskinan tidak berjalan lancar, terutama untuk memenuhi "2020 EU poverty and social exclusion".
Atkinson berpendapat, mengentaskan kemiskinan di negara maju membutuhkan pola pikir yang lebih ambisius, bahkan melebihi strategi apa yang sudah diterapkan saat ini. Harus terdapat interkoneksi antara negara dan melihat problem ini sebagai satu kesatuan manusia. Dia menambahkan "What Happen at the Top, affetcs at the bottom". Tawney berpendapat "Rich people call poverty as the problem of the poor, Poor people call equal justice is problem of the Rich".
Poor People Carrying Can image credit pexels.com |
Di UK, tingkat kemiskinan diukur dari proporsi terhadap median income. Tingkat kemiskinan sendiri pada 1992 tercatat pada 22%, dan 2011 di angkat16%. Turunnya angka kemiskinan ini tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Conservative Government under John Major. Namun penurunan poverty juga diikuti dengan peningkatan top income shares. Pemerintahan sekarang, under labour government dianggap intensely relxed (acuh) atas peningkatan top incomes shares. Meskipun angka 16% terlihat rendah, namun nilai ini masih diatas dibandingkan tahun 1960 dan 1970, yang pada saat itupun dianggap pada level yang cukup mengagetkan.
Lalu di negara-negara European Union (EU), tingkat kemiskinan meningkat dewasa ini. Social Protection Comitte pada tahun 2014 dalam laporannya menyatakan bahwa progress mengurangi kemiskinan tidak berjalan lancar, terutama untuk memenuhi "2020 EU poverty and social exclusion".
Atkinson berpendapat, mengentaskan kemiskinan di negara maju membutuhkan pola pikir yang lebih ambisius, bahkan melebihi strategi apa yang sudah diterapkan saat ini. Harus terdapat interkoneksi antara negara dan melihat problem ini sebagai satu kesatuan manusia. Dia menambahkan "What Happen at the Top, affetcs at the bottom". Tawney berpendapat "Rich people call poverty as the problem of the poor, Poor people call equal justice is problem of the Rich".
Peningkatan Sebaran atas Penghasilan (Income Dispersion)
Meningkatnya sebaran penghasilan bukan berarti selalu unjustified inequality. Karena not all diffrences in economic outcomes represent injustice. Individu dibayar berdasarkan kemampuan dan jam kerja, dan tingkat responsibilites (kita kesampingkan pendidikan). Salah satu penentunya yang didapat dari training dan peningkatan skill. Seperti yang Adam Smith katakan "A man educated at the expense of much labour time, must be expected to earn above usual wage". Maka dari itu college-wage-premium bukan berarti inequality. Di lain pihak,
Namun dalam konteks faktor produksi, Milton Friedman dan Simon Kuznets berpendapat, Inequality terjadi jika penetuan besarnya jumlah penghasilan bagi profesional dan non-profesional sangat jomplang, dan melebihi perbedaan penentuan tingkat pengembalian investasi capital (MPLp, MPLnp > MPK).
DI USA earning dispersion mulai nampai pada tahun 1952-1972, di UK malah lebih awal diantara tahun 1950-1960. Peningkatan earning dispersion bukan berarti peningkatan inequality. Sebagai contoh di UK earning dispersion lebih kecil dari US, namun overall inequality lebih besar (dari US). Karena Earning Dispersion itu melihat dari individual, sedangkan inequality melihat dari Rumah Tangganya (HouseHold).
Apa, Siapa?: Perspektif atas Dimensi Inequality
Bagian ini menjelaskan lebih dalam akan inequality, sebelum melangkah lebih dalam ada baiknya mengclearkan beberapa hal lagi.
Apa : Inequality atas income apa?
DI USA inequality dihitung menggunakan Household Disposable Income, yang di adjust dengan size dan composition (Totoal Earning Perperson + Trabsfer = HH Gross Income - Taxes (including Social Security) = HH Disposable Income / Equivalent Adult = HH Equivalized Income, + Value of Public Service = HH Extended Income).
Kenapa value of public service menambah income?, ibaratnya natura yang menambah penghasilan/manfaat penerimanya.
Makanya di negara yang public spendingnya rendah, private spending pasti tinggi.
Siapa : Inequality antara siapa?
Sebelumnya telah kita bahas dari perspektif Household untuk mengukur inequality, padahal dalam satu rumah tangga bisa terdiri dari beberapa keluarga (families) yang hidup dalam satu atap. Dalam satu atap itu pulan bisa terdiri dari beberapa generasi yang berbeda. Lantas bagaimana harus kita ukur? Jawabannya tergantung bagaimana resources (sumber daya) di-share equally among them.
Contoh, jika secara Full Sharing, maka bisa dihitung berdasarkan total income dari household. Jika Tidak Sepenuhnya di Sharing, total expenditure bisa digunakan. Tentunya orang dewasa dan anak-anak hitungannya berbeda.
UK menggunakan family-based unit, keuntungannya adalah walaupun hasilnya terlihat tinggi, namun kurva pertumbuhannya melandai. Namun fully sharing adalah yang umum dipakai saat ini, konsekwensinya true extend of poverty menjadi tidak tampak secara nyata.
Karena dalam satu household pun bisa terdapat inequality. Contohnya, jika ada kepala rumah tangga yang bangkrut dan kembali ke rumah orang tuanya, maka dihitung jadi satu keluarga. Padahal inequality dalam satu atap itu nampak secara jelas, namun tidak terlihat dalam asumsi fully sharing.
Penentuan cara perhitungan inequality ini bergantung pada control over resources dan degree of individual independence. Contohnya kalau ada kepala rumah tangga yang balik dan bergantung ke rumah orang tuanya, harusnya dikeluarkan dalam perhitungan dalam satu Household. Karena share dari total income akan dibagi dengan jumlah individu menjadi semakin kecil. Term untuk menggambarkan individu yang bergantung seperti ini dinamakan "benefit dependency", makanya di negara maju terdapat kebijakan publik untuk securing financial independency untuk orang tua sehingga suatu saat tidak bergantung pada anak-anak mereka.
Lalu pertanyaan besarnya muncul "Apakah inequality dihitung secara household atau secara family?"
Inequality atas konsumsi : Pengukuran yang reliable kah?
Thomas Piketty (Capital in the Twenty First Century) terlalu fokus kepada income, hingga Bill Gates mengkritisinya karena tidak mempertimbangkan konsumsi. Karena dalam melihat inequality and poverty dari perspektif konsumsi akan beda dengan hanya melihat income.
Pendukung Consumption
Dale Jorgenson mengatakan salah jika perhitungan poverty statistik berbasis Income, namun harus berbasik konsumsi. Bruce Meyer dan James Sullivan mengatakan poverty index yang berbasis income menghasilkan data yang bias, seharusnya menggunakan consumption dimana nilai poverty akan terukur lebih rendah.
Dirk Krueger adan Fabrizio Perri beranggapan bahwa kenaikan income inequality tidak selalu diikuti dengan kenaikan consumption inequality, hal ini terjadi di US. Namun Orazio Attanasio, Erik Hurst dan Luigi Pistaferri tak sependapat dengan mengatakan kenaikan income inequality sebanding dengan kenaikan consumption inequality di US.
Kritik atas Consumption approach
Consumption-based measurement memang terlihat menjanjukan, namun pertanyaanya data consumption apa sih dihitung di Consumer Survey untuk menenetukan inequality? Ternyata bukan consumption rata2, tetapi consumption expenditure (consumer spending). Bisa jadi bisa msial kalau ada pembelian barang luxury saat dilakukan survey, maka tingkat konsumsi akan naik. Nah, apalagi untuk pengukuran konsumsi sektor jasa seperti pendidikan dan kesehatan yang tiap orang mungkin punya preferensi masing-masing, (rich people goes to expensive school). Kedua seberapa akurat consumer expenditure dilaporakan? Untuk barang-barang seperti rokok, alcohol, apakah dihitung? pasti ada efek under reporting. Lalu jumlah keseluruhannya apa bisa reliable?
Mark Aguiar dan Mark Bills menyatakan jika ada inequality consumption naik tidak sebesar inequality of income, maka pertumbuhan saving harusnya jadi tinggi. Krueger dan Perri juga menyatakan population coverage harus dipertimbangkan jika menggukanan consumption. Sample yang tidak representative dan variasi antara sample bisa menjadi problem. Misal membandingkan rural dengan urban pasti tingkat konsumsinya dna kebutuhannya berbeda.
Pada akhirnya pemilihan income atau expenditure tergantung dari tujuan analisis.
Namun dalam konteks poverty measurement, kita berpegang pada seberapa besar standard of living, and right to a minimum level of resources. Karena dalam mengukur poverty, income menjadi lebih representatif, karena orang yang ada dalam poverty tingkat incomenya pasti sangat kecil hingga tidak ada saving sama sekali, bahkan nilai konsumsi yang dikeluarkan dibawah yang dibutuhkan. Maka dari itu, pendekatan income lebih baik.
Over time, pengukuran poverty menggunakan consumption merambah ke konsep participation in the life society, disinilah concept minimum rigts of resources timbul. Sebagai contoh poverty measurement untuk pria dan wanita bisa berbeda, karena wanita membutuhkan tenaga dan nutrisi yang lebih sedikit dari pria.
Yang lebih penting, Pengukuran inequality atau poverty menggunakan consumer spending masih banyak perdebatan, karena subject to price goods and services. Sebagai contoh poor people belanja di toko eceran yang lebih mahal sedangkan rich people bisa membeli secara grosir, sehingga poor people pay more than rich people. Selain itu poor people tidak punya akses ke pinjaman dengan bunga rendah, mereka terjebak ke rentenir, dimana rich bisa mendapat bunga murah di bankSocial Isolation pun bisa diciptakan oleh rich people. Brian Barry mengatakan jika rich people mengeksklusifkan sekolah, rumah sakit, perumahan, dan apapun yang bisa mereka beli secara eksklusif untuk digunakan oleh mereka sendiri, maka itulah bentuk social isolation.
Atas dasar itulah, pedekatan consumption lebih inferior dibandingkan income. Disamping itu, penggunaan pendekatan income merangkul aspek yang lebih luas dari pada consumption, karena income menggambarkan purchasing power/sebesar apa kekuatan mereka untuk membeli, meskipun mereka tidak secara nyata membeli. Dan kekuatan tersebut bisa di transfer antar generasi (diwariskan), sampai pada titik dimana rich people bisa membeli pemerintahan.
Selain itu, Rich people juga sering menderma dalam jumlah besar. Dan pengukuran ini nampaknya tidak bisa tertangkap jika memakai pendekatan consumption.
(Referensi : Anthony B. Atkinson "Inequality : What can Be done" chapter 1: setting the scene )
No comments:
Post a Comment