Pendahuluan : The Second (Third etc…) Generation Rich
The Crazy Rich Asians, mungkin sebuah fenomena nyata (walau agak berlebihan) betapa beruntungnya jika terlahir dari keluarga dengan masyarakat ekonomi kelas atas. Menjadi second generation rich, dimana kekayaan didapat secara instant dari generasi sebelumnya menjamin akses ke pendidikan, kesehatan, bahkan potensi untuk mengembangkan kekayaan menjadi lebih besar lagi. Lalu untuk siapa kekayaan sebesar itu harus disimpan? Bukankah tidak akan dibawa sampai mati? Tentunya diberikan kembali kepada keturunan berikutnya, agar menjadi third, fourth generation rich …..dan seterusnya.
Kecenderungan mendahulukan kepentingan keluarga ini manusiawi, namun konsekwensinya dalam masyarakat tercipta kondisi “Patrimonial Capitalism” dimana modal dan kekayaan terkonsentrasi pada sebagian kecil keluarga, dan secara berkelanjutan mentransfer modal tersebut kepada keturunannya melalui warisan, hibah dll. Lalu modal digunakan oleh generasi selanjutnya untuk diInvestasikan, mendapat profit dari pasar, lalu dipersiapkan untuk generasi selanjutnya. Mekanisme ini terus berulang layaknya bola salju, dimana semakin jauh/lama time periodnya, semakin besar kekayaan yang dikumpulkan.
Dalam jangka panjang, Patrimonial Capitalism semakin memperlebar jurang perbedaan kekayaan (inequality) atau disparitas kepemilikan modal di masyarakat pada tingkatan yang tidak sehat. Artinya tidak sehat adalah kondisi dimana suatu golongan dapat menutup akses atas suatu pasar dan secara eksklusif dieksploitasi hanya untuk golongan tersebut. Pada akhirnya distribusi modal yang beredar di suatu Negara terkonsentrasi secara terpusat pada golongan keluarga kaya dan keturunannya. Dalam skala kekuatan finansial yang besar, ada kecenderungan untuk melihat politik dan pemerintahan menjadi komoditas yang bisa dibeli demi mengamankan penumpukan modal tersebut. Kesimpulannya, Patrimonial Capitalism bukan hanya sekedar ancaman di dunia ekonomi dan bisnis, tetapi juga social, politik, dan ketatanegaraan.
Tentunya pemerintah bisa mengatur skema kebijakan untuk mengerem Patrimonial Kapitalisme ini dengan berbagai cara, salah satunya melalui instrumen pemajakan atas warisan dan hibah (dengan jumlah besar) dari orang tua kepada keturunannya. Tulisan ini mencoba memberikan pandangan, fakta, dan skema insentif lain terkait aspek tersebut dari sudut pandang perpajakan Indonesia.
Inefisiensi Pajak Sebagai Transfer Kekayaan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Indonesia bisa memakai skema kebijakan pajak untuk menjadi salah satu instrumen dalam mengerem Patrimonial Capitalism. Karena Pajak dapat memeratakan distribusi modal dengan memindahkannya from the rich society to the poor. Seperti skema yang tergambar dibawah ini:
Mekanisme Transfer of wealth through tax (Transfer Kekayaan Melalui Pajak) image credit : www.taxedu.web.id |
Lho, berarti kan sudah dipajaki penghasilan rich people sudah dipajaki? Memang betul. Apa jumlahnya kurang karena tarif PPh OP (Orang Pribadi) kurang progresif?[1] Tidak dibahas di tulisan ini, namun tendensinya pengenaan tarif progresif PPh OP hanya untuk penghasilan aktif[2], sedangkan High Wealth Individual (“HWI”) biasanya mendapatkan penghasilan pasif dari modal yang ditanamkan dalam bentuk saham, obligasi yang ditanamkan di lembaga keuangan dll. Perbedaan tersebut terlihat pada tabel dibawah ini:
No.
|
Aliran Penghasilan OP
|
Jenis Penghasilan
|
Pemajakan
|
Tarif
|
1
|
Pekerjaan
|
Aktif
|
Pasal 4 ayat 1
|
Progresif
|
2
|
Usaha (Jasa, Sewa)
|
Aktif/Pasif
|
Pasal 4 ayat 1. Sebagian UMKM Pasal 4 ayat 2.
Sewa tergantung Jenis Harta, Property (10%) final, harta lain masuk progresif
|
Progresif untuk Usaha diatas 4,8M.
|
3
|
Modal (Dividen, Bunga, Royalti)
|
Pasif
|
· Dividen = Pasal 4 ayat 2 (10%)
· Bunga dari Investasi dan Tabungan = Pasal 4 ayat 2.
· Royalti = Pasal 4 ayat 1.s
|
Tergantung Penghasilan
|
4
|
Lain-lain (Capital Gain, Tambahan Kekayaan Netto dll)
|
Sebagian besar Pasif
|
Artinya, pengenaan tarif progresif menghasilkan dampak yang belum tertarget untuk memajaki HWI (dengan asumsi) karena sebagian besar penghasilan yang didapat adalah penghasilan pasif dari modal (dividen, persewaan property, bunga obligasi) yang rangenya berkisar 10%-20%. Besaran dibawah tarif tertinggi progresif kemungkinan sebagai trade-off dengan menjadi insentif untuk investasi.
Berarti para HWI tersebut dipajaki lebih kecil dari tarif progresif? Iya dengan asumsi sumber penghasilan mereka adalah penghasilan pasif. Artinya memang tidak mudah menerapkan keseimbangan antara penerimaan pajak dengan ekonomi. Bagaimanapun juga, inventasi para HWI menjadi salah satu fuel dalam menggerakkan ekonomi.
Pada akhirnya, kekayaan bersih setelah pajak (net asset after tax) para HWI tersebut di wariskan/hibah kepada para keturunannya. Namun, warisan/hibah dari orang tua berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Huruf a angka 2 dan huruf b Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyebutkan secara eksplisit bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk warisan dan hibah (dari orang tua) adalah penghasilan yang bukan merupakan objek pajak bagi penerimanya. Apakah ini adil? Tentu adil, kan sudah dipajaki, yang penting Single Tax Principle tetap terpenuhi (penjelasannya pada tulisan lain).
|
Sampai pada poin ini kita bisa menyimpulkan terdapat dua insentif untuk tetap menjaga distribusi modal di dalam suatu keluarga, yaitu:
1. Low Tax Burden.
Beban Pajak atas Return on Capital (ROC) lebih kecil dari pada Jenis pemajakan lainnya (Gaji, profit dari bisnis, jasa dll). Karena sebagian besar HWI mendapatkan penghasilan dari ROC, Net Aset yang terakumulasi menjadi semakin besar.
2. Non Taxable Inheritance Income.
Setelah kekayaan tersebut terakumulasi, pada akhirnya ketika diwariskan, si penerima tidak dipajaki. Lalu asset tersebut dipakai kembali untuk investasi modal dan mendapatkan penghasilan pasif, terakumulasi kembali, dan siap diwariskan ke generasi selanjutnya.
Setelah kekayaan tersebut terakumulasi, pada akhirnya ketika diwariskan, si penerima tidak dipajaki. Lalu asset tersebut dipakai kembali untuk investasi modal dan mendapatkan penghasilan pasif, terakumulasi kembali, dan siap diwariskan ke generasi selanjutnya.
Sumbangan : 1. Transfer of Wealth yang dibatasi
Mekanisme pemajakan yang belum efektif mengerem kecenderungan patrimonial capitalism ini seharusnya bisa diimbangi dengan pemberian insentif alternatif. Dalam hal ini counter dari Patrimonial adalah Filantropi, Warisan diimbangi Sumbangan.
Seperti layaknya pajak, Sumbangan juga merupakan salah satu bentuk transfer of wealth from the rich to the poor. Namun the beauty of mekanisme Sumbangan adalah memiliki efek yang lebih langsung dari pajak. Karena transfer of wealth dilakukan langsung kepada society tanpa adanya pemerintah sebagai perantara, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini;
|
|
Disamping itu, Sumbangan mereduksi efek kontraprestasi dalam skema pajak, karena willingness to transfer datangnya voultarily dari si pemberi bukan dipaksakan.
Namun, melihat Aspek perpajakan atas sumbangan di Indonesia, nampaknya belum terlihat insentif yang optimum. Mari kita lihat pengaturan pemajakan atas sumbangan. Sumbangan dikategorikan secara umum menjadi 2 jenis:
1. Sumbangan Keagamaan : Sumbangan ini muncul di account pengurang penghasilan netto dalam perhitungan pajak penghasilan secara komprehensif pasal 4 ayat 1. Jika dilihat secara umum (tanpa membatasi Rich atau Poor) Terdapat dua kendala yang membatasi sumbangan agama ini, antara lain:
a. Jumlah dan Lembaga yang di Limitasi: Sumbangan ini dibatasi sesuai dengan jumlah yang diwajibkan oleh pemeluk agama masing-masing, disamping itu agen penerima diharuskan sebagai lembaga yang disyahkan agar eligible sebagai pengurang penghasilan. Hal ini terkait mekanisme cross-check.
b. Administratif : Pada akhir tahun, sumbangan agama mengurangi besaran pajak yang dibayar dan berinteraksi dengan withholding tax (tax credit), sehingga ada kemungkinan kelebihan pembayaran pajak (LB) yang mentrigger pemeriksaan pajak, satu hal yang dihindari bahkan oleh Wajib Pajak Patuh sekalipun.
2. 2. Sumbangan Umum : Sumbangan ini selain dari sumbangan keagamaan diatas, dan masuk ke dalam perhitungan pengurang penghasilan bruto di perhitungan PPh akhir tahun. Namun state naturalis sumbangan ini adalah non deductible expense diatur dalam pasal 9 ayat 1 huruf g, kecuali:
a. Jika memenuhi syarat Pasal 6 ayat 1 Huruf I, j, k , l, dan m UU PPh yaitu sumbangan bencana nasional ke BNPB; Penelitian dan pengembangan di Indonesia, Corporate Social Responsibilites, Pendidikan, dan Olahraga (Jenis Sumbangan yang Dibatasi)
b. Dan Jumlahnya dibatasi, yaitu hanya sebesar 5% dari Penghasilan Neto Fiskal tahun lalu.
Dari sudut pandang orang pribadi, segala macam jenis sumbangan diluar sumbangan diatas adalah personal expenditure yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan (non deductible) dalam perhitungan pajak terhutang. Karena personal expenditure sudah dianggap terfasilitasi dari jumlah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), dan jumlahnya tidak bisa melebihi dari yang telah ditentukan.
Sumbangan : 2. Benefit yang tidak dapat dihitung
Selain pembatasan atas sumbangan sebagai pengurang penghasilan yang dipajaki untuk para OP yang dikenakan pemajakan secara komprehensif Pasal 4 ayat 1, untuk Para HWI yang dipajaki secara scheduler final atas penghasilan dari pengembalian modal investasi, benefit yang diterima dari kegiatan menyumbang susah untuk dikuantifikasi.
Hal ini karena perbedaan perlakuan pemajakan secara komprehensif (Pasal 4 ayat 1) dan scheduler (Pasal 4 ayat 2) tersebut tidak dapat dihitung (non measureable) dalam artian tidak dapat ditentukan deductibility atau non deductibility-nya. Hal ini tergambar pada diagram berikut:
Menghitung Benefit dan Disbenfit atas Warisan dan Sumbangan image credit : www.taxedu.web.id |
Sebagai contoh terdapat dua orang, Karajo dan Richie. Karajo ada seorang pegawai yang bekerja selama 8 jam sehari dengan penghasilan gaji (active income) cukup lumayan selama setahun. Sedangkan Richie adalah seorang investor saham yang penghasilannya hanya dari dividen saham (Pasive Income). Jumlah penghasilan keduanya, sumbangan/hibah kepada keturunannya yang diberikan adalah sebagai berikut:
No
|
Keterngan
|
Karajo
|
Richie
|
1
|
Penghasilan
|
200.000.000
|
200.000.000
|
2
|
Sumbangan Deductible
|
Sumbangan Agama 15.000.000
Sumbangan Bencana Nasional (BNPB) 15.000.000
|
Total Sumbangan 45.000.000
|
3
|
Sumbangan Non- Deductible
|
15.000.000
|
|
4
|
Hibah/Warisan ke Keturunannya
|
50.000.000
|
50.000.000
|
Adapun perlakuan perpajakan atas seluruh perhitungan penghasilan, sumbangan dan warisan tersebut terangkum dalam tabel dibawah ini, sebagia berikut:
No
|
Keterangan
|
Karajo (Pegawai)
Pasal 4 ayat 1
|
Richie (Investor Saham)
Pasal 4 ayat 2
|
1
|
Penghasilan Bruto
|
200.000.000
|
200.000.000
|
2
|
Pengurang Penghasilan Bruto (Biaya, Sumbangan yang diperbolehkan)
|
(15.000.000)
|
Final
|
3
|
Penghasilan Netto
|
185.000.000
|
|
4
|
Pengurang Penghasilan Netto (PTKP, Kompensasi Rugi, Sumbangan Agama)
|
(15.000.000)
|
|
5
|
Penghasilan Kena Pajak
|
170.000.000
|
|
6
|
Tarif Pajak
|
5% x 50.000.000
15% x 120.000.000
|
10% x 200.000.000
|
7
|
Pajak Terhutang
|
20.500.000
|
20.000.000
|
Perhitungan Disbenefit
|
|||
a
|
Warisan/Hibah (50.000.0000)
|
Non Deductible, Jika Deductible maka Pajak Terhutang Menjadi 13.000.000, Disbenefit 7.500.000 (20.500.000 – 13.000.000).
|
Tidak dapat ditentukan, karena tidak masuk ke perhitungan Pengurang Penghasilan Bruto Maupun Neto
|
b
|
Sumbangan yang non deductible (10.000.000)
|
Non Deductible, Jika Deductible maka Pajak Terhutang Menjadi 19.000.000, Disbenefit 1.500.000 (20.500.000 – 19.000.000).
|
Tidak dapat ditentukan, karena tidak masuk ke perhitungan Pengurang Penghasilan Bruto Maupun Neto
|
9
|
Kesimpulan
|
Besaran Disbenefit atas Sumbangan dan Warisan/Hibah dapat dikalkulasi, karena penentuan Deductibility dan Non Deductibility Dapat dihitung
|
Besaran Disbenefit atas Sumbangan dan Warisan/Hibah tidak dapat dikalkulasi, tidak terdapat penentuan Deductibility dan Non Deductibility.
|
Kesimpulan : Insentif untuk Menumpuk Kekayaan, dan Mewariskannya
Dari hal tersebut, (Secara mengeneralisir dan tidak mempertimbangkan faktor kesadaran sosial dan sikap dermawan) Para high wealth Individual taxpayer yang menggantungkan penghasilan dari Return on Capital memiliki beberapa insentif untuk menumpuk kekayaan dan mentransfernya kepada keturunan berikutnya, seperti:
1. 1. Lower Tax Burden. Dimana Return on Capital dipajaki lebih dengan overall tarif yang lebih rendah daripada tarif tertinggi tertinggi
2. 2. Nontaxable Inheritance Income. Ada insentif untuk menjamin kesejahteraan keturunannya dengan mewariskan kepada generasi berikutnya.
3. 3. Nonmeasureable Benefit/Disbenefit. Ada disinsentif untuk menderma karena benefit/disbenefit tidak dapat diukur. Di sisi lain, meskipun warisan/hibah juga tidak dapat diukur, tetapi mungkin secara manusiawi, akan lebih better of dengan memberikannya ke Keturunan generasi selanjutnya.
No comments:
Post a Comment