ALP dan GFA |
Background
Setelah sekian lama Arm's Length Principle (ALP) menjadi pegangan kuat untuk menilai kewajaran transaksi afiliasi, nampaknya kita harus sedikiit melupakan kesaktiannya untuk menilai transaksi ekonomi digital. Menurut pandangan saya, hal ini karena belum ditemukannya formulasi yang tepat untuk menilai kewajaran atribusi profit untuk transaksi ekonomi digital. Formulasi atribusi dengan ALP yang berfokus pada Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) dan ditambah DEMPE (Development, Enchancement, Maintenance, Protection, Exploitation) masih belum dianggap fair untuk membagi jatah laba atas aktivitas ekonomi digital secara cross border (lintas batas) .Pembagian atribusi profit pada FAR dinilai masih memberikan jatah yang berlebih kepada residence country. Ada missing link dalam perhitungannya, dan hal ini wajar karena sulitnya menghitung besaran aktivitas ekonomi digital (scale without mass). Selain itu fungsi DEMPE terlalu tinggi menilai peranan atas hasil dari Intangible Property (IP), namun kurang fokus pada pentingnya proses pembentukan nilai IP nya dimana peran data dan pengguna berkontribusi sangat besar (Data and User Participation). Hal inipun telah disadari OECD dalam interim report 2018, OECD seakan mengatakan bahwa ada suatu hal yang hilang dari source country dalam penggunaan FAR dan DEMPE.
Fokus Pembenahan
Secara step-by-step, fokus pembenahan antara lain1. Penentuan Hak Pemajakan (Nexus Rule)
Pertama, perlu ada nexus baru dalam penentuan hak pemajakan atas transaksi ekonomi digital. Asas domisili, dan sumber saja tidak cukup, karena sifat transaksi ekonomi digital yang intangible (tidak berwujud) yang sudah diukur dan peranan residen atas pembentukan nilai (value creation) tidak akan terwujud jika tidak ada kontribusi dari kontribusi sumber, namun FAR gagal mengcapture peranan tersebut.
Perlu digarisbawahi, kedepannya proposal ini akan memberikan hak pemajakan yang lebih kepada negara sumber. Hal ini karena model bisnis digital yang dapat membatasi keberadaan secara fisik (limited physical presence) dan membatasi fungsi entitas di negara sumber (limited local function) namun tetap dapat menjalankan fungsi bisnisnya pada negara sumber secara remote.
Untuk itu, nexus atas transaksi digital diperluas. Ada beberapa usulan yang saat ini menjadi usulan dari OECD. antara lain
- User Contribution (Kontribusi Pengguna Pada Negara Sumber) : Secara bisnis, keunikan ekonomi digital berkembang dengan pesat karena kontribusi penggunanya. Tanpa adanya loyalitas dan preferensi pelanggan, bisnis digital tidak berbeda dengan model bisnis lainnya. Preferensi pada bisnis ini menjadi alasan mengapa model bisnis online yang menyediakan pasar online pihak ketiga (intermediary market place) seperti Alibaba. Amazon, dll berkembang bukan hanya karena marketing yang berlebihan yang dilakukan oleh bisnis mereka, tetpai juga karena kontribusi dari pembeli dan penjual yang bertransaksi pada pasar tersebut. Peranan online market place disini hanya sebagai fasilitator, namun yang menjadi mesin penggerak pasar adalah user (seller-buyer). Selain itu, bisnis search engine menjadi sebesar sekarang karena partisipasi dan rasa keingintahuan dari para netizen untuk menginput rasa keingintahuan mereka di mesin pencari. Semakin banyak keyword yang diinput, semakin terlihat trend di suatu local market, dan semakin mudah desain target atas pemasaran bisnis seperti yang dilakukan oleh Google.
- Marketing Intangible (Pasar sebagai Aset Tidak Berwujud) : Perlu dibedakan bahwa marketing intangible disini berbeda dengan marketing intangible pada konsep Transfer Pricing. Konsep disini ialah bukan konsep secara mikroekonomi atas development atas fungsi marketing suatu entitas yang menghasilkan profit seperti layaknya konsep FAR pada Transfer Pricing, namun lebih secara makro ke preferensi pasar yang menghasilkan kontribusi laba karena pasar yang lebih prefer dan confident atas service/brand tertentu. Maka dari itu saya lebih senang menamakan konsep ini market-based intangible. Konsep ini menjelaskan mengepa Facebook atau Twitter menjadi primadona sosial media di Asia Tenggara (Khususnya di Indonesia). Atau mengapa Youtube melihat Pasar Indonesia dan Negara dengan populasi penduduk besar lainnya adalah target pasar potensial. Logikanya, negara sumber seharusnya memiliki kontribusi lebih besar karena adanya specific market characteristic seperti pengguna lebih besar, preferensi pasar, dll. Perlu dicatat bahwa konsep ini tidak hanya mentarget Bisnis Digital secara khusus, tetapi bisnis secara umum.
- Significant Economic Presence (SEP) : atau Significant Computer/Online Function , Konsep SEP sebenernya lebih fokus ke penentuan Permanent Establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Konsep ini deviate dari konsep Significant People Function atau Physical Presence dalam penentuan BUT. Kedepannya BUT tidak hanya ditentukan atas ada tidaknya kehadiran pegawai yang signifikan untuk menjalan bisnis pada negara sumber namun juga ada tidaknya kehadiran ekonomi yang signifikan di negara sumber (meskipun dilakukan secara online atau remote oleh komputer). Akan ada penentuan proxy baru yang dipakai dalam penentuan kehadiran ekonomi yang signifikan. Sebagai contoh misalnya turnover threshold, jika sudah melebihi batasan penjualan tertentu maka dianggap memiliki PE. Nexus lain adalah misalnya banyaknya pengguna, jumlah content digital dll.
Hak Pemajakan Lebih Kepada Negara Sumber
- User Contribution (Kontribusi Pengguna Pada Negara Sumber) : Secara bisnis, keunikan ekonomi digital berkembang dengan pesat karena kontribusi penggunanya. Tanpa adanya loyalitas dan preferensi pelanggan, bisnis digital tidak berbeda dengan model bisnis lainnya. Preferensi pada bisnis ini menjadi alasan mengapa model bisnis online yang menyediakan pasar online pihak ketiga (intermediary market place) seperti Alibaba. Amazon, dll berkembang bukan hanya karena marketing yang berlebihan yang dilakukan oleh bisnis mereka, tetpai juga karena kontribusi dari pembeli dan penjual yang bertransaksi pada pasar tersebut. Peranan online market place disini hanya sebagai fasilitator, namun yang menjadi mesin penggerak pasar adalah user (seller-buyer). Selain itu, bisnis search engine menjadi sebesar sekarang karena partisipasi dan rasa keingintahuan dari para netizen untuk menginput rasa keingintahuan mereka di mesin pencari. Semakin banyak keyword yang diinput, semakin terlihat trend di suatu local market, dan semakin mudah desain target atas pemasaran bisnis seperti yang dilakukan oleh Google.
- Marketing Intangible (Pasar sebagai Aset Tidak Berwujud) : Perlu dibedakan bahwa marketing intangible disini berbeda dengan marketing intangible pada konsep Transfer Pricing. Konsep disini ialah bukan konsep secara mikroekonomi atas development atas fungsi marketing suatu entitas yang menghasilkan profit seperti layaknya konsep FAR pada Transfer Pricing, namun lebih secara makro ke preferensi pasar yang menghasilkan kontribusi laba karena pasar yang lebih prefer dan confident atas service/brand tertentu. Maka dari itu saya lebih senang menamakan konsep ini market-based intangible. Konsep ini menjelaskan mengepa Facebook atau Twitter menjadi primadona sosial media di Asia Tenggara (Khususnya di Indonesia). Atau mengapa Youtube melihat Pasar Indonesia dan Negara dengan populasi penduduk besar lainnya adalah target pasar potensial. Logikanya, negara sumber seharusnya memiliki kontribusi lebih besar karena adanya specific market characteristic seperti pengguna lebih besar, preferensi pasar, dll. Perlu dicatat bahwa konsep ini tidak hanya mentarget Bisnis Digital secara khusus, tetapi bisnis secara umum.
- Significant Economic Presence (SEP) : atau Significant Computer/Online Function , Konsep SEP sebenernya lebih fokus ke penentuan Permanent Establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Konsep ini deviate dari konsep Significant People Function atau Physical Presence dalam penentuan BUT. Kedepannya BUT tidak hanya ditentukan atas ada tidaknya kehadiran pegawai yang signifikan untuk menjalan bisnis pada negara sumber namun juga ada tidaknya kehadiran ekonomi yang signifikan di negara sumber (meskipun dilakukan secara online atau remote oleh komputer). Akan ada penentuan proxy baru yang dipakai dalam penentuan kehadiran ekonomi yang signifikan. Sebagai contoh misalnya turnover threshold, jika sudah melebihi batasan penjualan tertentu maka dianggap memiliki PE. Nexus lain adalah misalnya banyaknya pengguna, jumlah content digital dll.
Hak Pemajakan Lebih Kepada Negara Sumber |
2 . Formulasi atas Alokasi Laba (Profit Allocation Rules)
Langkah berikutnya setelah penentuan hak pemajakan adalah formulasi atas alokasi laba entitas. Prinsip dari formulasi ini adalah memberikan profit lebih kepada negara sumber sebagai market. Karena itu saya menyebutnya market-based allocation rule. Artikel ini tidak akan membahas secara mendalam atas 3 jenis formulasi baru yang diajukan (akan dibahas pada artikel lain). 3 jenis formulasi itu adalah:
- Modified Residual Profit Split : Metode ini memodifikasi Profit Split dengan memberikan residual profit kepada market country atau entitas yang berada pada market countries.
- Fractional Apportionment Method : Dilihat dari namanya, kita melihat ada interest untuk sedikit demi sedikit mengadpsi Global Formulary Apportionment (GFA), namun keliatannya masih setengah hati. Metode ini membagi profit entitas berdasarkan suatu formula alokasi tertentu, misalnya tingkat sales perlokasi, activities per location, dll yang menitik-beratkan pada weighting di source/market countries.. Mirip dengan dengan two-sided FAR yang dikuantifikasi ke Market Country. Setelah ditentukan nilai alokasinya berdasarkan weghted tersebut, lalu dibagi-bagi nilai profitnya.
- Distribution Based Approach : Metode ini melihat dari ujung akhir nilai profit local entitas (entitas pada negara sumber) dan melakukan penyesuaian secara ekonomi jika dinilai profit tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan profit grup secara keseluruhan.
Profit Allocation Rule |
3. Peningkatan Fungsi BEPS dengan GABE (Global Anti Base Erosion)
Langkah berikutnya adalah seperti langkah reserve jika dua diatas masih belum efektif. Mekanisme ini melihat dari dua persepktif negara sumber sebagai payer dan negara residen sebagai payee. Proxynya adalah jika terdapat Income yang terlalu rendah dipajaki di salah satu negara tersebut, maka negara lainnya dapat merespon. Misal:
- Payee Perpective = Income Inclusion Rule : Jika pemberi penghasilan pada Negara Payer dipajaki terlalu kecil secara effective tax rate (ETR) karena adanya inventives atau Net Operating Loss (NOL) maka maka pada negara Payee dapat memasukkan penghasilan tersebut secara top-up dan dipajaki di Negara Payee. Aplikasi ini mirip dengan Controlled Foreign Corporation (CFC)
- Payer Perspective = Under Taxed payment : Jika penerima penghasilan dipajaki secara ETR rendah di negara residen, maka negara pembayar dapat melakukan denial of deducution.
Global Anti Base Erosion (www.eccountax.com) |
Kesimpulan
Penerapan pendekatan baru diatas setidaknya menjadi angin segar untuk negara market agar dapat pemajakan lebih.atas transaksi ekonomi digital, meskipun sudah terlihat sedikit melenceng dari ALP dan DEMPE dan sedikit kearah GFA, namun OECD masih sedikit malu-malu untuk mengakui ini adalah langkah awal menuju GFA.
Namun, Proposal diatas masih belum final dan OECD masih melakukan public consultation untuk mendapatkan unified consensus approach. Setidaknya sampai dengan akhir 2020 dimana OECD akan menerbitkan final report yang diharapkan sebasai long-term solution.
Yang perlu diperhatikan adalah, nantinya jika sudah bisa diaplikasikan, harus bisa dibedakan dengan batas yang jelas kapan penggunaan ALP dan DEMPE dipakai, kapan penggunaan metode baru.
No comments:
Post a Comment